Kamis, 17 Januari 2013


"Menemukan Kembali Pemimpin Ideal"
(Harapan Normative kita Di Bumi Pertiwi).
Oleh : Agus Salim
Sejarah kepemimpinan mencatat bahwa pemimpin itu lahir dari adanya musyawarah yang melahirkan mufakat dari sekelompok masyarakat untuk menunjuk salah satu orang untuk menjalankan suatu tananan nilai atau peraturan yang telah di sepakati bersama dengan tujuan untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera. Menurut Plato bahwa pemimpin yang baik itu harus berasal dari seorang filosuf, beliau beranggapan bahwa filsuf adalah pemimpin yang mampu menciptakan kesejahteraan sosial dengan kebijaksanaan yang ada dalam dirinya.
Dalam konteks Indonesia sekarang, banyak sekali terjadi  suatu kesenjangan sosial yang terjadi (insability) di mana banyak persoalan yang melahirkan konflik di berbagai daerah di bumi pertiwi seperti adanya pemberontakan OGAM di aceh, OPM di papua, RMS di maluku dan lain-lain. Sebenarnya lahir sebuah problem atau masalah itu adalah bentuk kekecewaan masyarakat terhadap pemimpin di negeri ini. Terlepas dari itu, ini adalah indikasi dari ketidak mampuan seorang pemimpin dalam menciptakan kesejahteraan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Karena memang pola pikir dan tindakan mereka lebih di arahkan kepada individu di banding kesejahteraaan sosial. Karena memang kehadiran Negara dan pemerintah itu dalam rangka menciptakan kesejahteraan sosial bukan menciptakan kesejahteraan individu atau kelompok tertentu.
Di sisi lain, di jajaran birokrasi pemerintah banyak terjadi konfik kepentingan, di mana elite politik yang satu dengan elite politik yang lain saling mempertahankan kepentingannya. Praktek politik elite di negeri ini sama dengan apa yang di katakann oleh Thomas hobbes di mana manusia yang satu dengan manusia yang lain saling membunuh, ibarat dihutan rimba, dimana-mana manusia yang satu bagaikan srigala bagi  manusia yang lain, manusia tersebut akan menggunakan kekuatanya untuk menguasai apa yang dia bisa kuasai sekalipun itu bukan haknya.
 Di Negara ini masih banyak persoalan yang menyangkut kesenjangan sosial yang harus di benahi dan di selesaikan dengan cara memikirkan solusinya. Dalam proses penyelesaian masalah yang terjadi di internal birokrasi kepemerintahan dan masalah kesenjangan sosial itu sudah banyak dipikirkan oleh para pakar politik, mahasisiswa, dan masyarakat dengan melalui dialog atau pendiskusian di negeri ini, akan tetapi solusi atau  ide  itu semua hanya di jadikan sebagai arsip Negara tampa ada implementasi yang jelas sehingga persoalan di negeri ini tidak terselesaikan.
Sebetulnya apa yang salah dengan itu semua, apakah paradigma masyarakat terhadap pola prilaku politik pemerintah (dalam system partai) yang di salahkan atau kurangnya integritas atau kesadaran pemerintah itu sendiri..?
inilah pertanyaan mendasar yang seharusnya bisa mengerakkan pikiran sejuta umat dalam mencarikan jawaban dan solusinya. Persoalan Kesenjangan sosial yang terjadi di Negara ini sebetulnya berawal dari seorang pemimpin yang tidak memiliki integritas, komitment, dan akuntabilitas dalam menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Masyarakat di pelosok Negari ini merindukan adanya sosok pemimpin yang mengabdi kepada kepentingan rakyat supaya udara kesejahteraan yang selama ini tidak pernah di rasakan, agar bisa di nikmati oleh rakyat di negeri ini. Harapan sejuta umat di negeri ini tidak akan terwujud manakala tidak ada kesadaran dan jiwa revolusioner dari generasi bangsa ini. karena baik atau buruknya Negara itu tergantung dari ahlaknya generasi muda.
Negara ini mengalami masa depan yang suram atau tampa tujuan yang jelas, itu semua  berawal dari seorang pemimpin yang megabdi kepada pihak-pihak asing dan melalaikan kepentingan masyarakat. Negara itu ibaratkan seperti kapal laut dan nahkodanya adalah pemerintah, maka terwujud atau tidaknya tujuan Negara itu tergantung dari seorang pemimpinnya, karena seorang pemimpin adalah pengendali sekaligus mengatur Negara itu. Bukti ketidak komitmen dari pemerintah di Negara ini karena tidak mampu merealisasikan apa yang di janjikan pada saat melakukan sosialisasi politik, lebih tepatnya adalah visi dan Misi.
 elite politik di negeri ini kebanyakan memainkan politik pencitraan dan propaganda, demi mewujudkan reputasi dimata masyarakat, maka disitu perlu ada kedaran masyarakat memaknai politik dengan benar. Untuk mewujudkan pola prilaku politik masyarakat yang cerdas perlu ada peran serta partai politik, mahasiswa, tokoh agama dalam memberikan pendidikan politik untuk masyarakat. Agar mampu merubah paradigma politik many yang selama ini membudaya dalam diri masyarakat di bumi pertiwi.
Terlepas dari krusialisasi permasalahan yang terjadi, apa yang sebetulnya yang harus di benahi, apakah system politik dalam perekrutan kader partai atau pola prilaku politik  masyarakat yang cenderung memakai politik many..?
Menurut saya, yang harus di benahi adalah kedua – duanya di mana system perekrutan kader partai yang nanti akan menjadi seorang pemimpin yang di delegasi oleh partai di mana individu itu diseleksi secara ketat dengan cara : 1) merubah paradigma dalam system perekruitment kader yang selama ini berdasarkan system transaksi dan primordial dengan system proporsional. Dimana sistem yang berdasarkan keahlian atau potensi yang ada dalam diri individu (Kualitas).  2) peran partai politik dalam memberikan pendidikan politik kepada kader-kader partai supaya memahami konteks politik yang benar. 3) pendidikan moral, guna untuk mengembalikan nilai-nilai moralitas dalam diri kader partai yang selama ini luntur.
Yang di butuhkan untuk menjawab masalah di atas perlu ada peran serta seluruh elemen dalam Negara tersebut dalam memberikan pendidikan moral kepada masyarakat  supaya merubah paradigma masyarakat yang selama ini cenderung memakai politik many. Yang kedua, adanya penegakan hukum yang total oleh lembaga hukum terhadap persoalan yang terjadi dan yang ketiga, peran serta mahasiswa sebagai Agen Of Change melalui pergerakannya untuk mengkritisi kinerja-kinerja Upeti di jajaran pemerintahan. Ketika ketiga elemen mampu bekerja secara bersama-sama akan melahirkan suatu kesejahteraan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut Adam Smith dan  Nurcholish Madjisd (Cak Nur), ada 4 hal yang harus di miliki oleh pemimpin di antaranya adalah yang pertama Seorang pemimpin harus memiliki Komitment di mana Rasa psikologis manusia yang di bangun berdasarkan keadaan kebutuhan dan lingkungan yang cenderung menetap. kedua Seorang pemimpin harus memiliki Kualitas di mana Potensi yang di miliki oleh manusia yang di gali secara aktual. Ketiga Seorang pemimpin harus Fleksibel artinya Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan sesuai atas apa yang di fikirkan (teoritis) dengan lingkungan (praktek). Dan yang keempat, Pemimpin harus Integritas di mana  Sikap kesatuan yang di miliki oleh setiap manusia dalam menyatukan berbagai pandangan dari masyarakatnya.
Jokowi selaku gubernur baru DKI Jakarta menambahkan bahwa pemimpin itu harus banyak mendengarkan tetapi tidak banyak bicara sehingga aspirasi yang coba di suarakan oleh masyarakat dapat terealisasikan sesuai dengan apa yang di harapkan.

Mahasiswa fakultas psikologi "11 Universitas Muhammadiyah Malang.


Minggu, 03 Juni 2012


“MOTIVATOR (BUNDA) DI TENGAH KESURAMAN IDENTITAS”
Oleh : Agus Salim.
Kalau boleh di bilang realitas kehidupan sekarang sangat jauh dari cita-cita demokratis yang mana terjadi sebuah faham-faham tertentu (kooptasi), Indonesia sudah tidak lagi menjadi Negara satu kesatuan yang utuh. Kelompok-kelompok tertentu saling mengklaim dirinya paling unggul sedang menafikan yang lainnya. Nilai-nilai spirit solidaritas dan Cultur disiplin yang pernah di kiprahkan oleh Nabiyullah kita yakni Muhammad S.A.W dan yang tertera dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits sudah terkikis oleh perilaku-perilkau komsumtif dan hedonistic, individu-individu yang berkecimpung dalam ideology tersebut (Konsumerisme dan hedonisme) berarti akan menjadi individu-individu yang pragmatisme dan oportunis karena mereka tidak membuka cakrawala berfikirnya untuk melihat dan melangkahkan kaki untuk meng-aktualisasi-kan dirinya di tengah pergulatan tanpa henti di tengah arogansi rimba samudra balada hitam putih lingkar penguasa Negeri sejuta dongeng ini.
Dengan sejuta realitas itu, saya teringat akan sebuah spirit motivasi sang bunda dulu, bait per bait telah di telaah lebih dalam, kadar dimensi nilai yang terkandung dalam serpihan itu sangat dalam sampai merombak alam imajinasiku. Bermula dari syair langit sang Bunda “anakku coba lirik Bapak”, jemarinya sudah lemah berkarat, tidak kuat lagi mencakar keras keringnya lumpur petak sawah, tuk mengemis kerontang rupiah. Kami sudah ujun anakku (putra agung), berilah secuil pada sisa umur tuhan ini dengan kamu jujur sungguh belajar, mohon jangan jadi pendosa. Dan ingat anakku..! Gurui ilmu padi; yang semakin berisi semakin menunduk, maka demikian kau baru bisa menjadi pribadi/sosok unggul dalam mengarungi perputaran lingkar alam yang di singgahi ini”. Bahwa sesungguhnya benar penggalan bait dalil inilah yang menguji rasa/naluri sensitivitas ananda terhadap belah kasih jiwa abadi bunda. Sehingga tidak lelah saraf positiv ananda utuh kokoh (konsisten) dalam kanvas alunan warisan perintah (Fatwa suci) itu tetap menjadi urat saraf bahkan jiwa raga ananda. Memasuki sub episode, ananda terjerat ke dalam simfoni pergulatan rangkai-merangkai bait karya inipun tak terlepas dari spirit itu bunda. Walau ramai beringas gunjingan yang menghantam, bergelut dengan realitas (pergulatan tanpa henti di tengah arogansi rimba samudra balada hitam putih lingkar penguasa Negeri sejuta dongeng ini), ulah picik para penipu yang saling berantai menipu demi sesuap kebohongan (bersilad lidah mengumbar kerancuan).
Nilai-nilai spirit itulah yang menjadikan diri ini terus berjalan walau sejuta badai-badai besar menghadang (Para pembuat onar yang mengatas namakan demokrasi). Selain di tiga nilai yang coba kita tanamkan dalam kesadaran diri dari sejak awal kita merubah identitas “santun menyatakan diri MAHASISWA” (individu sensitive sosial-bertanggung jawab) namun ada juga pesan moral misi kenabian yang berasal dari kejijikan saya menyaksikan galunggung prahara kehidupan di Bumi pertiwi lingkar nusantara yang begitu nyata menghamburkan bau amis ironi, pun multi problem ini seolah-olah sudah tidak ada cara untuk kita dapatkan solusi alternatifnya. Padahal puing kerusakan itu dengan sangat mudah berani kita generalisasikan (vonis) adalah dampak bermula dari kotoran leaders yang tidak cukup memiliki misi kenegaraan dalam kepemipinannya (leadership). Demikian realitas kerusakan itu, kita tidak boleh lengah apa lagi nyandu dengan sikap apatisme dan terbelenggu jinak oleh kesesatan berpikir (ikut arus).

Dear
Jofin Malingy…!!!
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang...

Kamis, 24 Mei 2012


“IRONI NEGERI DI LIHAT DARI SEJARAH”
Oleh Agus Salim : 8:07 (17-01- 2012)
KALAU terdengar kata kekerasaan tentu dalam benak kita itu adalah suatu perbuatan yang keji dan pasti kita tidak ingin hal itu sampai terjadi pada kita. Namun, ketika hal itu datang maka kita tidak bisa mengelak dari itu. Berangkat dari secuil fenomena itu lahirlah sebuah perasaan yang selalu Resah, resah dan resah, rasa ini yang selalu menghampiri dalam batin ini, detik, menit, dan jam perasaan itu terus datang menghampiriku, tangannya melambai-lambai bagaikan makhluk yang mengerikan. Sejenak duduk di sudut sepi sembari merenungi nasib bumi pertiwi yang penuh kesewenangan dan ketidakadilan, apakah tampa ketidakadilan sejarah tidak ada.? begitu mahalnya keadilan di negeri ini sampai-sampai mengorbankan orang-orang miskin, bagaimana tidak di mana-mana terjadi penembakan masal secara terang-terangan, pelanggaran HAM terjadi di mana-mana bahkan di setiap pelosok perdesaan, kota apalagi. Kaum-kaum kapitalis semakin lahap memakan rakyat, harga-harga semakin naik membumbung tinggi (komsumtif dan kapitalisme). Sehingga apa yang terjadi pada rakyat…?. Rakyat semakin menderita karena di buatnya, hanya orang elit borjuislah yang mampu membeli dan bahkan mereka malah memperebutkan itu. Sedangkan nasib rakyat apa…? Rakyat hanya kena getah dari perilaku komsumtif dari bandit-bandit kekuasaan itu dan bahkan tertindas dan hanya bisa merenungi nasib, sedang untuk mencari makan, kehidupan yang layak tidak mampu mereka dapatkan apalagi ada keinginan untuk mendapatkan kekuasaan.
Hari demi hari saya sebagai  generasi bangsa dalam mengarungi lautan kehidupan dengan penuh keresahan hati ,jiwa, pikiran, melihat  kondisi Negara Indonesia  yang semakin hari semakin tidak stabil, runtuh karena ulah sekelompok manusia yang tidak bermoral dan selalu mensakralkan kekuasaannya demi  kepentingan individu atau kelompok tertentu, Di sini lahirlah penindasan yang tiada hentinya yang di praktekan para penguasa terhadap rakyat yang lemah. Di jaman revormasi sekarang banyak Para penguasa, elit politik saling memperrebut kursi kekuasaan dengan gaya permainan politik kotor yang menghalakan segala cara, rakyat lemah dijadikan alat atau bahan umpan agar mendapatkan tujuan yang di inginkan para penguasa, sehingga yang menikmati singgah sana kemewahan kursi kekuasan itu adalah sekelompok manusia yang bernaluri (predator). Gaya politik seperti ini identik dengan hukum Rimba, siapa yang kuat itulah yang menang, system politik seperti itu sering di pakai pada jaman dahulu seperti pada jaman kerajaan LUIS ke X17 Di Prancis,. Di negara tercinta ini di jadikan sebangai ajang pemainan politik kotor para diktator yang  berhati binatang, ujung dari praktek permainan politik kotor para dictator yang berhati binatang ini bisa membuat rakyat itu sengsara. Di Negara ini Rakyat yang lemah hanya di jadikan tumbal dari ajang permainan politik para penguasa yang lalim yang tidak mempertimbangkan nasib rakyat. Banyak penyimpangan, pelanggaran terhadap hak –hak rakyat yang di lakukan oleh para penguasa yang tidak bermoral yang bisa membuat rakyat sengsara. Hukum di Negara tercinta ini hanya sebagai alat yang pasif ibarat sebuah huruf mati yang tidak mampu di implementasikan di kehidupan yang nyata, sebaliknya  hukum dibuat untuk menjaga dan menjamin hak para penguasa bukan untuk menjaga hak rakyat dari kejahatan para penguasa. Sungguh malang nasib masyarakat dan generasi penerus bangsa ini yang menempuh hidup diatas penindasan yang semakin hari semakin meraja lela yang di praktekan oleh para penguasa. Mereka cuman bisa menerima nasib, seperti seorang anak yang menunggu nasi satu bungkus dari seorang ibu tiri. Apa bila seorang ibu belum kenyang maka seorang anak belum mendapatkan jatahnya. Artinya rakyat hanya menunggu sisa dari para penguasa. Rakyat sekarang hanya di jadikan sebagai sampah dan boneka yang tidak manpu mengkritik keputusan dari para penguasa, sekali pun keputusan tersebut jelas merugikan rakyat itu sendiri, kita sebagai generasi penerus bangsa di juluki sebagai “Agent of Change” kita di tuntut untuk harus sadar dan menggunakan akal secara positif bagai mana melihat kondisi Negara ini dan memberikan jawaban atau alternative terhadap kondisi Negara ini, tentu masalah ini tidak bisa di terima akal waras kita.
Penulis teringat atas apa yang di rintis oleh Karl Marx bahwa hanya orang-orang elit borjuislah yang mampu bersaing, memperebutkan kekuasaan. Sedangkan kaum protelar dan kaum buruh hanya bisa meratapi nasib dengan perasaan yang serbasimpangsiur dan yang bisa mereka perbuat hanyalah terus berjuang untuk melawan kediktatoran, mereka sangat berhati-hati dalam bertindak, lengah sedikit hancur  dan hangus sudah usaha yang mereka telah perjuangkan (Baca Karl marx). Akan tetapi kaum-kaum buruh tidak perlu secemas itu karena kita, MAHASISWA akan memperjuangkan nasib kalian, kita bersamamu orang-orang malang.
Kadang masyarakat selalu berkata dan bertanya, mengapa ini semua terjadi…? Tidakkah engkau hentikan oh tuhan robbi.Hentikkan orang-orang yang tidak punya hati nurani itu. Aku takut, aku sangat takut, mereka sangatlah keji bahkan lebih keji bagaikan binatang yang memakan daging temannya sendiri. (ujar salah satu masyarakat).
Sebelum pertanyaan di atas terjawab semua. penulis mencoba merivew kembali apa yang terjadi di masa lalu yang katanya sejarah telah mencatatnya. Betul apa yang di rasakan oleh rakyat, tidak ada yang salah. Dari zaman ORLA, ORBA, sampai revormasi. Peristiwa penindasan semakin hari semakin merajalela, hanya saja cara implementasinya mengikuti perkembangan politik dan globalisasi namun secara substansial tetap ujung-ujungnya menyengsarakan rakyat. Penulis teringat akan peristiwa G 30 S/PKI. Dari penculikan dan pembunuhan yang di lakukan oleh PKI (partai komunis Indonesia) terhadap para jenderal TNI angkatan darat, TNI angkatan laut, maupun TNI angkatan udara. PKI menyusup kerumah-rumah jenderal itu pada waktu dini hari dengan dalil yang dibawa bahwa kondisi negara Indonesia dalam keadaan mencekik dan bapak presiden (Soekarno) menyuruh untuk menghadap ke istana. Namun, dari beberapa jenderal tersebut menolak dengan mengatakan datang lagi besok jam 8.00 WIB. Akan tetapi tentara PKI tidak menerima penolakan dari para jenderal dan bersih kukuh untuk membawanya dan bahkan mereka di tembak mati di hadapan keluarga karena kegigihan dari para jenderal untuk tidak mengikuti kemauan tersebut. Yang lebih ironinya lagi mereka tidak di perbolehkan untuk memakai seragamnya, Sungguh menyedihkan. Waktu menunjukkan angka 5.00 WIB dini hari. Para jenderal itu di siksa, di aniaya, di bunuh dan bahkan mereka telah memasukkannya di lubang kecil yang di namakan lubang buaya. Sungguh tidak punya hati nurani. Siapa yang akan bertanggung jawab atas peristiwa itu…? Entahlah, entah itu  semata-mata kesalahan PKI atau kesalahan dari Presiden.
Peristiwa di  atas adalah bagian terkecil dari seribu peristiwa yang telah membuat hati masyarakat terluka dan sampai sekarang masih membekas. 
Sekarang peristiwa itu telah terjadi lagi seperti peristiwa Mesuji, peristiwa di bima baik SAPE LAMBU maupun di NGALI (negeri para kasatria). Para bandit-bandit kekuasaan telah bermain politik-politik kotor Demi para pemilik modal yakni kaum kapitalisme, pemerintah rela mengorbankan martabat, harga diri dan menjual nyawa masyarakat demi secerceh materi baik berupa uang, kekuasaan dan saham-saham (materialistic). ketika di Tanya baik dari wartawan, media massa dan perjumpaan pers, mereka menjawab bahwa ini demi kesejahteraan masyarakat. Tidak ada satu pemerintahpun yang memiliki hati nurani, semuanya bejat, mereka menyembunyikan kejelekan, kemunafikannya dengan persona (Topeng) dan berlindung di belakang jabatannya. Benar apa yang di katakan oleh Soe hok gie (Alm) dan herman lantang “politik Ta’I anjing”
Ketika pemilihan CAPRES sedang mau di adakan, jauh-jauh hari  mereka mendekati masyarakat dengan membawa misi yang mulia (Jargon), mereka memberi, melindungi dan mengayomi masyarakat. Mereka berkampanye, menyampaikan visi dan misinya yang begitu bergaya dan santun di dengar. Namun itu hanya sebuah opini belaka, Sebuah embel-embel opini liar semata, dalam pada itu setelah mereka mendapatkan misinya (mendapatkan kekuasaan), seiring berjalannya roda kekuasaannya misi mulia tadi telah musnah bagaikan di sapu angin puting beliung dan  mansyarakat telah di lupakan (tidak mengindahkan apa yang menjadi aspirasi  masyarakat).
Sungguh ironi tragedy di negeri tercinta ini (politik kotor berhati predator). Dengan peristiwa yang terjadi di atas siapa yang menghambat kinerja bejat pemerintah…? Mereka selalu resah, bahkan terketuk hati nuraninya, mereka telah terpanggil oleh jiwa sosialnya. Mereka selalu menjadi garda terdepan, mereka tidak takut mati, kalaupun mereka mati, itu tidak menjadi persoalan, mereka telah terpanggil oleh seorang pemikir sehingga masyarakat tidak tertindas secara terus menerus.
Mahasiswa ya mahasiswa…!!! Kata ini tidak asing lagi di telinga masyarakat, kata ini sudah sangatlah familiar di telinga masyarakat dan bahkan dari beberapa mahasiswa itu adalah anak-anak dari mereka yang tertindas. Dengan title yang familiar itu tersimpan beban moral yang amat berat. (1). Tuntutan tri darma perguruan tinggi. (2). Sebagai Agent Of Change. (3). Agent of sosial. Inilah sebuah beban yang kemudian di empan di punggung mereka.
Namun itu tidak menyulutkan jiwa optimisme dan radikalisme ke-kritis-an. Sebagian mahasiswa menyatakan bahwa itu hanya sebuah formalitas, banyak sekali yang harus di perjuangkan (informal). Ujar mahasiswa 2009.
Mahasiswa yang di kenal dengan sifat kritismenya, yang tidak pernah puas atas apa yang telah di perbuatnya. Mereka mampu merubah keadaan. (Lihat), Dari peralihan masa jabatan dari soekarno (ORLA) ke soeharto (ORBA). Itu adalah salah satu bukti reel pergerakan mahasiswa. Tidak hanya dari universitas Indonesia (UI) Jakarta dengan gabungan dari beberapa ormas dan mahasiswa, kemudian itu  di namakan KAMI (kesatuan aksi mahasiswa Indonesia) yang turun berdemonstrasi di jalan, tentunya orang-orang HMI-pun  (himpunan mahasiswa islam) ikut terlibat dalam pergolatan itu. Dalam pada itu, banyak dari beberapa aliansi pergerakan masyarakat petani dan buruh telah turut serta dalam pergolakan demi menuntut hak-hak yang telah di renggut oleh para penguasa. Segala carut marut pergerakan itu kesenjangan sosialpun telah tercipta (ekonomi, sosial dan politik) namun segala perjuangan itu tadi terbayar dengan turunnya rezim SOEHARTO (Era reformasi).
Berangkat dari paradigma sejarah ini tentunya kontribusi yang telah di berikan oleh mahasiswa telah banyak menuai keberhasilan, di sini saya mengajak terhadap generasi-generasi sebagai penerus bangsa untuk terus menjalankan misi mulia demi tercipta sebuah tatanan sosial yang baik serta menjaga kehormatan para sang juara pencetus sejarah yang telah gugur duluan kala Reformasi. Dalam pada itu, untuk menjalankan misi itu tentu kita harus menjaga nilia-nilai kesolidaritas dan menghargai perbedaan antara kelompok tampa harus mengklaim kebenaran dan menafikan yang lain.
Ketika berpijak pada kata seorang tokoh yang paling revolusioner, NURCHOLISH MADJID (Cak Nur).
 “Api tampa kayu takkan bisa hidup dan api tampa ranting-ranting kecil takkan bisa hidup lama”
Artinya bahwa solidaritas itu perlu karena memang idealnya manusia adalah makhluk sosial. Nah, untuk itu Ayo kawan-kawan mari bersama-sama berjuang melawan kediktatoran dari bandit-bandit kekuasaan secara kompulsif.
Sumber penulis adalah Soe Hok Gie “Catatan Sang Demonstran”, Nurkholish madjid “api islam”.  
Penulis : Mahasiswa Psikologi Universitas Muhammadiyah malang...!!!

Sabtu, 12 Mei 2012

“MICHEL FOUCOULT”
Oleh :  Agus Salim : Pada 12 Mei 2012

1.     Profil studi dan karya.
2.    Madness dan civilization.
3.    Arkeologi pengetahuan.
4.    Kekuasaan geneologi.


1.    Profil, studi, dan karya.
PROFIL.
Tahun 1926 : ia lahir di poiteras di kalangan keluarga medis.
tahun 1951 : Ia menjadi anggota PKP (partai komunis perancis).
Tahun 1948 : memperoleh licence dalam filsafat.
Tahun 1950 : memperoleh licence dalam psikologi.
Tahun 1954 : Ia menerima tawaran untuk menjadi dosen di universiats Uppsala (swadia, dalam sastra dan kebudayaan).
Tahun 1958 : Ia menjadi direktur pusat kebudayaan perancis di warsawa polandia.
STUDI.
Tahun 1945 : ia di terima di ecole normale dan menempuh studinya di bawah bimbinagan
  G. Canguilhem, G.Dumezil dan J. Hippolite.
KARYA.
Tahun 1954  : buku tentang penyakit jiwa dan kepribadian.
Tahun 1963 : buku saku tentang sejarah kegilaan.
Tahun 1966 : kata-kata, benda-benda , sebuah arkeologi tentang tatapan medis
Tahun 1943 : buku filsafat ada dan ketiadaan.
Tahun 1969 : arkeologi pengetahuan.
Tahun 1975 : buku tentang menjaga dan menghukum. “Lahirnya penjara”.
Tahun 1973 : aku, pierre, reviere, setelah membunuh ibu, saudai dan saudaraku.
Tahun 1975 : membuat film dengan judul Moi, Pierre, Reviere; dengan stradara Renne Allio.
Tahun 1976 : buku tentang sejarah seksualitas “kemauan untuk mengetahui”. (Jilid pertama)
Tahun 1982 : penggunaan kenikmatan. (Jilid kedua).
Tahun 1984 : keprihatian untuk dirinya.
Tahun 1958 : buku tentang kegilaan “Unreason” sejarah kegilaan dalam zaman klasik.



2.   Sejarah Kegilaan
Sejarah kegilaan dalam zaman klasik (sejarah=arkeologi).dalam buku sejarah kegilaan 1963, menyatakian bahwa pada akhir abad ke-18 diolog antara kegilaan dan rasio terputus, foucoult menlanjutkan ‘bahasa psikiatri yang merupakan monolog rasio tentang kegilaan di dasarkan hanya keheningan pada semacam itu, saya tidak berusaha melukiskan sejarah bahasa psikiatri itu, melainkan terutama arkeologi keheningan itu.
Zaman klasik ialah periode yang meliputi paruh kedua abad ke-17 dan abad ke-18 sampai kira-kira revolusi perancis.

Renaissance.
Kapal yang membawa orang-orang gila.kapal2 melewati sungai2 dan terusan2 dari rheinland (jerman”) dan flandria (belgadia) pada abad ke-15.
Perkaitan erat antara air dan kegilaan pada taraf imaginasi.

Zaman klasik.
    Pada periode  abad ke-17 dikenal dengan hospital general yang didirkan oleh raja perancis tahun 1959. Hospital inhi bukan suatu instansi kesehatan, melainkan instansi yang menyangkut tata tertib.jadi semua orang yang mengganggu taraf rasionalitas semua orang yang tidak berguna, dikurung di sini.
 Jika dikaitkan dengan renaissance, kegilaan masih dikaitkan denggan realitas fantastis dan luar-duniawi, maka pada zaman klasik kegilaan dinilaisebagai ketidak gunaan social dan dihukum karena alasan etis.
Foucault menyatakan bahwa mengenai zaman klasik , buktinya ialah –oramg berfikir- bahwa orang gila dikurung bersama narapidana dan unsure social lainnya. Seolah2 kegilaan adalah suatu paham yang abadi tak terubahkan, yang harus menunggu sampai zaman kita untuk akhirnya ditemukan.

Bagi Foucault, pandangan kita sekarang tentang kegilaan (atau penyakit jiwa) merupakan juga buah hasil suatu system pemikiran yang tertentu.



Periode pascaklasik
Pada zaman klasik dikenal dengan didirikan hospital general (1956), namun pda pasca klasik di kenal dengan hospital bicotre (paris), yang di mana pelepasan orang2 gila oleh phillippe pinel tahun 1790.
Bersamaan dengan pinel di paris, Samuel tuke (pemimpin jemaat Quakers di York), membebaskan orang2 gila di inggris, tetapi pembebasan dari kurungan dari penjara itu tdk berarti bahwa mereka di kembalikan kedlm masyarakat, mereka di tampung yang di sediakan khusus untuk mereka.lahirlah asylum (asil) atau penempatan orang2 gila.

Baik pinel dan tuke bukan dari kalangan dokter maupan psikiatri melainkan dari kalangan orang tapi mereka mampu mendirkan sebuah tempat penyimpangan untuk orang2 gila (asylum_asil).
Foucoult menyatakan pada abad ke-18, bahwa kegilaan menjadi penyakit jiwa, tetapi tdk langsung dari pinel dan tuke. Jadi ada sebuah mata rantai yang tidak boleh dilewati yaitu moralitas.
Jika zaman klasik tidak mengenal moralitas, akan tetapi pada pascaklasik baik pinel dan tuke mempersoalkan masalah hukum moral. Tuke di inggris menggunakan agama untuk itu, namun pinel tidak menggunakan agama, sebab akhirnya membawa kehalusinasi. Maka dalam asylum menjadi semacam lembaga yuridis di mana orang di tuduh serta di adili dan hanya bisa keluar jika ia menyesal.

Jika Freud mengemukan tntang psikoanalisa tetapi Foucoult mengatakan bahwa psioanalisa tidak sanggup untuk mendengarkan suara2 unreasum atau membaca tanda sandi dari orang gila. Psikoanalisa dapat membongkar seluk beluk bebrapa bentuk kegilaan. Tetapi tetap tinggal asing terhadap pekerjaan unreason yang otonom itu. Psioanalisa tidak dapat membebaskan, mentranskripsikan, apalagi menerangkan apa yang bersifat hakiki dalam pekerjaan itu.

3.   Arkeologi pengetahuan.
Jika dalam kelahiran klinik. Sebuah arkeologi tentang tatapan medis (1963), dan pada bukunya ttng kata-kata dan benda-benda. Sebuah arkelogi tentang ilmu manusia (1966). Foucoult menyatakan bahwa ilmu pengetahuan kemanusian merupakan suatu penemuan yang masih agak baru (abad ke-19) dan segera akan hilang, bila nanti timbul suatu system pemikiran yang lain.dan zaman kita sekarang di ambang pintu perubahan.
Tahun 1969. Arkeologi pengetahuan, buku yang berefleksi ttng metode dan latar belakang teoritis dari 3 bukunya dan berusaha mempertanggung jawabkan pendirian foucoult.
Salah satu tema yg mencolok adl Diskontinuitas dalam sejarah. Foucoult menyetujui sejarawan2 baru yng menguraikan sejarah dengan banyak mengunakan konsep2 seperti “retakan”, “ambang”, “batas”, “seri”, “transformasi”.namun, tentang ini para sejarah lama tidak setuju dengan adanya konsep diskontinuitas baru seperti ini karena mereka menganggap bahwa temuan mereka akan di bunuh begitu saja dan fundamen-fundamennya dibongkar.
Menurut Foucult ini satu2nya cara untuk mempraktekan sejarah. Dulu sejarah di pergunakan  secara ideologis, katanya, di andaikan suatu objek yang mengadakan sintesa dan totalisasi.
Sejarah (konsep) lama (pengaruh dan tradisi).
Sejarah (konsep) baru (diskontonuitas, retakan, ambang, batas, seri, dan tranformasi).

Dalam menyelidiki diskursus2 Foucoult menggunakan tiga konsep (positivitas, apriori historis dan arsip).yang berkaitan erat satu sama lain.
·        Positivitas (ilmu) adlh apa yang menandai kesatuan diskursus itu dalam suatu periode tertentu.sehingga dua pengarang berbicara yang sama dan bercicara yang lain.jadi positivitas merupakan suatu lingkup komunikasi antara pengarang dan ilmuwan2.tidak berarti mereka berbincang satu dengan yang lain. Apa yang memungkinkan suatu positivitas oleh foucoult di sebut,-
·        Apriori historis dimaksudkan keseluruhan syarat2 atau aturan2 yg menentukan suatu diskursus. Syarat2 dan aturan2 itu tidak datang dari luar tetapi menentukan diskursus dari dalam, untuk menentukan perwujudan diskursus itu sendiri. Akhirnya,-
·        Arsip adalah system pernyataan2 yang di hasilkan yang di hasilkan oleh pelbagai posivitas sesuai dengan apriori historis masin-masing.
Empat (4) Macam Arkeologi Pengetahuan
a.    Sejarah pemikiran mendekati diskursus dengan berpegang pada dua kategori (yang lama atau yang baru) dan (yang tradisianal atau yang original, yaanh biasa atau yang luar biasa).
Arkeologi tidak menemukan pengetahuan, arkeologi beruasaha memperlihatkan regularitas dimaksudkan keseluruhan kondisi2 yang memainkan peranandalam suatu diskursus dan menjamin serta menentukan jadinya diskursus itu.
b.    Sejarah pemikiran mengenal dua macam kontradiksi.
1.     Ada kontradiksi yang hanya Nampak dan akan hilang jika orang memperhatikan kesatuan mendalam suatu diskursus.
2.    Kontradiksi yang menyangkut fundamen-fundamensuatu diskursus.
c.     Analisa arkeologi akan menyangkut perbandingan.perbandingan antara satu praktek diskursif dan praktek non-diskursif lainnya (lembaga2, kejadian2 politik, proses2 ekonomi dan social).
d.    Analisa arkeologis melukiskan juga perubahan.tetapi tidak meneraangkan perubahan bukan sebagai penemuan baru. Arkeologi menganalisa perubahan sbgai pelbagai macam tranformasi. Itu berarti bahwa diskontinuitas di akui, tetapi diskontinuitas tdk di anggap suatu pada dirinya.

4.    Pemikiran Tentang Kuasa.
Tahun 1968, awal perkembangan Michel foucoult, dan pada mei 1968, di angkat sebagai professor filsafat pada universitas eksperimental yang di buka Vicennes, pinggiran kota paris. Perkembangan foucoult banyak di pengaruhi geneologi Nietzsche terutama geneologi kuasa dan moral bahkan Nietzsche sumber utama foucoult. Hal ini terlihat pada penelitiannya sendiri tentang kuasa, dan ini menjadi terma terpenting dalam pikiran foucoult.
Foucoult ingin menganalisa strategi kuasa secara factual, iya tdk menyajiakn Metafisika tapi Mikrofisika, artinya, masalahnya bukannya apakah itu kuasa, melainkan bagaimana berfungsinya kuasa pada suatu bidang tertentu.kuasa bagi foucoult berarti serba banyak relasi kuasa yang bekerja di slah satu tempat atau waktu. Untuk menganalisa tentang hal ini dia memakai buku menjaga dan menghukum  dan sejarah seksualitas, yang katanya berbelit2 itu di suatu bidang kongkret.
Mirofisika…? Karena dapat menghasilkan beberapa pendapat umum tentang kuasa yang agak berbeda dari pendapat umum lainnya dengan tema yang sama.
1.    Kuasa bukanlah milik pribadi melainkan sebuah strategi.
2.    Kuasa tidak dapat di lokalisasi terdapat di mana-mana.
perkaitan erat antara kuasa dan pengetahuan. Pengetuahan tidak mencerminkan relasi kuasa seperti apa yang di kemukan marxisme.pengetahuan tidak merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi2 kuasa tetapi pengetuhuan berada di dalam relasi2 itu sendiri. Foucoult di maksudkan lebih umum; tidak ada pengetahuan tampa kuasa, serentak juag tidak ada kuasa tampa pengetahuan, jadi korelasi: pengetahuan mengandung kuasa seperti juga kuasa mengandung pengetahuan.kuasa dan pengetahuan merupakan dua sisi yang menyangkut proses yang sama, tidak mungkin pengetahuan itu netrak atau netral.
3.   Kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi.
Menurut foucoult, kuasa tidak menindas, kuasa tidak bekerja dengan cara negative, melainkan dengan cara psitif dan produktif. Ia mengatakan ” kita harus berhenti melukiskan akibat2 kuasa dengan cara negative, seolah2 oleh kuasa, “meniadakan”, “merepresi”, “mensensor”, “mengabstrksikan”, “menyelubungi”, “menyembunyikan”. Pada kenyataannya kuasa bereproduksi.
Salah satu nomalisasi dalh tubuh.seperti Berpakai.
Dalam menjagadan menghukum di perlihatkan bagaimana strategi khusus ini timbul dalam abad ke-18. Foucoult menjelaskan bahwa banyak fenomena yang timbul khampir pada waktu yang sama, mempunyai hubungan vabilitas ini.
4.   Kuasa tidak bersifat destrutif melainkan produktif.
Kuasa tidak menghancurkan tapi menghasilkan sesuatu. Tidak jarak di temui pendapat bahwa it sendiri sesuatu yang jahat dan harus di tolak, tetapi menolak  kuasa termasuk strategi kuasa itu sendiri.
Salah satu keberatan yang di kemukan oleh foucoult ialah bahwa dengan paham kuasa ia mengintroduksikan suatu factor transedental baru dalam filsafat. Tetapi foucoult membantah tuduhan itu secar tegas, refleksi kuasa yang di kembangkannya sebagai alat yang memungkinkan suatu analisa ttng kuasa dan barangkali juga mengijinkan untuk mengambil bagian secara efektif dan strtegi kuasa. Bagi foucoult kuasa tidak merupakan suatu factor ontologism, melainkan sesuatu yang taktis belaka.

Mahasisiwa Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang