“MOTIVATOR (BUNDA) DI TENGAH
KESURAMAN IDENTITAS”
Oleh
: Agus Salim.
Kalau boleh di bilang realitas
kehidupan sekarang sangat jauh dari cita-cita demokratis yang mana terjadi
sebuah faham-faham tertentu (kooptasi), Indonesia sudah tidak lagi menjadi
Negara satu kesatuan yang utuh. Kelompok-kelompok tertentu saling mengklaim
dirinya paling unggul sedang menafikan yang lainnya. Nilai-nilai spirit
solidaritas dan Cultur disiplin yang pernah di kiprahkan oleh Nabiyullah kita
yakni Muhammad S.A.W dan yang tertera dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits sudah
terkikis oleh perilaku-perilkau komsumtif dan hedonistic, individu-individu
yang berkecimpung dalam ideology tersebut (Konsumerisme dan hedonisme) berarti
akan menjadi individu-individu yang pragmatisme dan oportunis karena mereka
tidak membuka cakrawala berfikirnya untuk melihat dan melangkahkan kaki untuk
meng-aktualisasi-kan dirinya di tengah pergulatan tanpa
henti di tengah arogansi rimba samudra balada hitam putih
lingkar penguasa Negeri sejuta dongeng ini.
Dengan sejuta realitas itu, saya
teringat akan sebuah spirit motivasi sang bunda dulu, bait per bait telah di
telaah lebih dalam, kadar dimensi nilai yang terkandung dalam serpihan itu
sangat dalam sampai merombak alam imajinasiku. Bermula dari syair langit sang
Bunda “anakku coba lirik Bapak”,
jemarinya sudah lemah berkarat, tidak kuat lagi mencakar keras keringnya lumpur
petak sawah, tuk mengemis kerontang rupiah. Kami sudah ujun anakku (putra
agung), berilah secuil pada sisa umur tuhan ini dengan kamu jujur sungguh
belajar, mohon jangan jadi pendosa. Dan ingat anakku..! Gurui ilmu padi; yang
semakin berisi semakin menunduk, maka demikian kau baru bisa menjadi
pribadi/sosok unggul dalam mengarungi perputaran lingkar alam yang di singgahi
ini”. Bahwa sesungguhnya benar penggalan bait dalil inilah yang menguji
rasa/naluri sensitivitas ananda terhadap belah kasih jiwa abadi bunda. Sehingga
tidak lelah saraf positiv ananda utuh kokoh (konsisten) dalam kanvas alunan
warisan perintah (Fatwa suci) itu tetap menjadi
urat saraf bahkan jiwa raga ananda. Memasuki sub episode, ananda terjerat ke
dalam simfoni pergulatan rangkai-merangkai bait karya inipun tak terlepas dari
spirit itu bunda. Walau ramai beringas gunjingan yang menghantam, bergelut
dengan realitas (pergulatan tanpa henti di tengah arogansi rimba
samudra balada hitam putih lingkar penguasa Negeri sejuta dongeng ini), ulah
picik para penipu yang saling berantai menipu demi sesuap kebohongan (bersilad
lidah mengumbar kerancuan).
Nilai-nilai spirit itulah yang
menjadikan diri ini terus berjalan walau sejuta badai-badai besar menghadang
(Para pembuat onar yang mengatas namakan demokrasi). Selain di tiga nilai yang
coba kita tanamkan dalam kesadaran diri dari sejak awal kita merubah identitas
“santun menyatakan diri MAHASISWA” (individu sensitive sosial-bertanggung
jawab) namun ada juga pesan moral misi kenabian yang berasal dari kejijikan saya
menyaksikan galunggung prahara kehidupan di Bumi pertiwi
lingkar nusantara yang begitu nyata menghamburkan bau amis ironi, pun multi
problem ini seolah-olah sudah tidak ada cara untuk kita dapatkan solusi
alternatifnya. Padahal puing kerusakan itu dengan sangat mudah berani kita
generalisasikan (vonis) adalah dampak bermula dari kotoran leaders yang tidak cukup memiliki misi kenegaraan dalam
kepemipinannya (leadership). Demikian
realitas kerusakan itu, kita tidak boleh lengah apa lagi nyandu dengan sikap
apatisme dan terbelenggu jinak oleh kesesatan berpikir (ikut arus).
Dear
Jofin Malingy…!!!
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang...