Minggu, 03 Juni 2012


“MOTIVATOR (BUNDA) DI TENGAH KESURAMAN IDENTITAS”
Oleh : Agus Salim.
Kalau boleh di bilang realitas kehidupan sekarang sangat jauh dari cita-cita demokratis yang mana terjadi sebuah faham-faham tertentu (kooptasi), Indonesia sudah tidak lagi menjadi Negara satu kesatuan yang utuh. Kelompok-kelompok tertentu saling mengklaim dirinya paling unggul sedang menafikan yang lainnya. Nilai-nilai spirit solidaritas dan Cultur disiplin yang pernah di kiprahkan oleh Nabiyullah kita yakni Muhammad S.A.W dan yang tertera dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits sudah terkikis oleh perilaku-perilkau komsumtif dan hedonistic, individu-individu yang berkecimpung dalam ideology tersebut (Konsumerisme dan hedonisme) berarti akan menjadi individu-individu yang pragmatisme dan oportunis karena mereka tidak membuka cakrawala berfikirnya untuk melihat dan melangkahkan kaki untuk meng-aktualisasi-kan dirinya di tengah pergulatan tanpa henti di tengah arogansi rimba samudra balada hitam putih lingkar penguasa Negeri sejuta dongeng ini.
Dengan sejuta realitas itu, saya teringat akan sebuah spirit motivasi sang bunda dulu, bait per bait telah di telaah lebih dalam, kadar dimensi nilai yang terkandung dalam serpihan itu sangat dalam sampai merombak alam imajinasiku. Bermula dari syair langit sang Bunda “anakku coba lirik Bapak”, jemarinya sudah lemah berkarat, tidak kuat lagi mencakar keras keringnya lumpur petak sawah, tuk mengemis kerontang rupiah. Kami sudah ujun anakku (putra agung), berilah secuil pada sisa umur tuhan ini dengan kamu jujur sungguh belajar, mohon jangan jadi pendosa. Dan ingat anakku..! Gurui ilmu padi; yang semakin berisi semakin menunduk, maka demikian kau baru bisa menjadi pribadi/sosok unggul dalam mengarungi perputaran lingkar alam yang di singgahi ini”. Bahwa sesungguhnya benar penggalan bait dalil inilah yang menguji rasa/naluri sensitivitas ananda terhadap belah kasih jiwa abadi bunda. Sehingga tidak lelah saraf positiv ananda utuh kokoh (konsisten) dalam kanvas alunan warisan perintah (Fatwa suci) itu tetap menjadi urat saraf bahkan jiwa raga ananda. Memasuki sub episode, ananda terjerat ke dalam simfoni pergulatan rangkai-merangkai bait karya inipun tak terlepas dari spirit itu bunda. Walau ramai beringas gunjingan yang menghantam, bergelut dengan realitas (pergulatan tanpa henti di tengah arogansi rimba samudra balada hitam putih lingkar penguasa Negeri sejuta dongeng ini), ulah picik para penipu yang saling berantai menipu demi sesuap kebohongan (bersilad lidah mengumbar kerancuan).
Nilai-nilai spirit itulah yang menjadikan diri ini terus berjalan walau sejuta badai-badai besar menghadang (Para pembuat onar yang mengatas namakan demokrasi). Selain di tiga nilai yang coba kita tanamkan dalam kesadaran diri dari sejak awal kita merubah identitas “santun menyatakan diri MAHASISWA” (individu sensitive sosial-bertanggung jawab) namun ada juga pesan moral misi kenabian yang berasal dari kejijikan saya menyaksikan galunggung prahara kehidupan di Bumi pertiwi lingkar nusantara yang begitu nyata menghamburkan bau amis ironi, pun multi problem ini seolah-olah sudah tidak ada cara untuk kita dapatkan solusi alternatifnya. Padahal puing kerusakan itu dengan sangat mudah berani kita generalisasikan (vonis) adalah dampak bermula dari kotoran leaders yang tidak cukup memiliki misi kenegaraan dalam kepemipinannya (leadership). Demikian realitas kerusakan itu, kita tidak boleh lengah apa lagi nyandu dengan sikap apatisme dan terbelenggu jinak oleh kesesatan berpikir (ikut arus).

Dear
Jofin Malingy…!!!
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang...