Kamis, 24 Mei 2012


“IRONI NEGERI DI LIHAT DARI SEJARAH”
Oleh Agus Salim : 8:07 (17-01- 2012)
KALAU terdengar kata kekerasaan tentu dalam benak kita itu adalah suatu perbuatan yang keji dan pasti kita tidak ingin hal itu sampai terjadi pada kita. Namun, ketika hal itu datang maka kita tidak bisa mengelak dari itu. Berangkat dari secuil fenomena itu lahirlah sebuah perasaan yang selalu Resah, resah dan resah, rasa ini yang selalu menghampiri dalam batin ini, detik, menit, dan jam perasaan itu terus datang menghampiriku, tangannya melambai-lambai bagaikan makhluk yang mengerikan. Sejenak duduk di sudut sepi sembari merenungi nasib bumi pertiwi yang penuh kesewenangan dan ketidakadilan, apakah tampa ketidakadilan sejarah tidak ada.? begitu mahalnya keadilan di negeri ini sampai-sampai mengorbankan orang-orang miskin, bagaimana tidak di mana-mana terjadi penembakan masal secara terang-terangan, pelanggaran HAM terjadi di mana-mana bahkan di setiap pelosok perdesaan, kota apalagi. Kaum-kaum kapitalis semakin lahap memakan rakyat, harga-harga semakin naik membumbung tinggi (komsumtif dan kapitalisme). Sehingga apa yang terjadi pada rakyat…?. Rakyat semakin menderita karena di buatnya, hanya orang elit borjuislah yang mampu membeli dan bahkan mereka malah memperebutkan itu. Sedangkan nasib rakyat apa…? Rakyat hanya kena getah dari perilaku komsumtif dari bandit-bandit kekuasaan itu dan bahkan tertindas dan hanya bisa merenungi nasib, sedang untuk mencari makan, kehidupan yang layak tidak mampu mereka dapatkan apalagi ada keinginan untuk mendapatkan kekuasaan.
Hari demi hari saya sebagai  generasi bangsa dalam mengarungi lautan kehidupan dengan penuh keresahan hati ,jiwa, pikiran, melihat  kondisi Negara Indonesia  yang semakin hari semakin tidak stabil, runtuh karena ulah sekelompok manusia yang tidak bermoral dan selalu mensakralkan kekuasaannya demi  kepentingan individu atau kelompok tertentu, Di sini lahirlah penindasan yang tiada hentinya yang di praktekan para penguasa terhadap rakyat yang lemah. Di jaman revormasi sekarang banyak Para penguasa, elit politik saling memperrebut kursi kekuasaan dengan gaya permainan politik kotor yang menghalakan segala cara, rakyat lemah dijadikan alat atau bahan umpan agar mendapatkan tujuan yang di inginkan para penguasa, sehingga yang menikmati singgah sana kemewahan kursi kekuasan itu adalah sekelompok manusia yang bernaluri (predator). Gaya politik seperti ini identik dengan hukum Rimba, siapa yang kuat itulah yang menang, system politik seperti itu sering di pakai pada jaman dahulu seperti pada jaman kerajaan LUIS ke X17 Di Prancis,. Di negara tercinta ini di jadikan sebangai ajang pemainan politik kotor para diktator yang  berhati binatang, ujung dari praktek permainan politik kotor para dictator yang berhati binatang ini bisa membuat rakyat itu sengsara. Di Negara ini Rakyat yang lemah hanya di jadikan tumbal dari ajang permainan politik para penguasa yang lalim yang tidak mempertimbangkan nasib rakyat. Banyak penyimpangan, pelanggaran terhadap hak –hak rakyat yang di lakukan oleh para penguasa yang tidak bermoral yang bisa membuat rakyat sengsara. Hukum di Negara tercinta ini hanya sebagai alat yang pasif ibarat sebuah huruf mati yang tidak mampu di implementasikan di kehidupan yang nyata, sebaliknya  hukum dibuat untuk menjaga dan menjamin hak para penguasa bukan untuk menjaga hak rakyat dari kejahatan para penguasa. Sungguh malang nasib masyarakat dan generasi penerus bangsa ini yang menempuh hidup diatas penindasan yang semakin hari semakin meraja lela yang di praktekan oleh para penguasa. Mereka cuman bisa menerima nasib, seperti seorang anak yang menunggu nasi satu bungkus dari seorang ibu tiri. Apa bila seorang ibu belum kenyang maka seorang anak belum mendapatkan jatahnya. Artinya rakyat hanya menunggu sisa dari para penguasa. Rakyat sekarang hanya di jadikan sebagai sampah dan boneka yang tidak manpu mengkritik keputusan dari para penguasa, sekali pun keputusan tersebut jelas merugikan rakyat itu sendiri, kita sebagai generasi penerus bangsa di juluki sebagai “Agent of Change” kita di tuntut untuk harus sadar dan menggunakan akal secara positif bagai mana melihat kondisi Negara ini dan memberikan jawaban atau alternative terhadap kondisi Negara ini, tentu masalah ini tidak bisa di terima akal waras kita.
Penulis teringat atas apa yang di rintis oleh Karl Marx bahwa hanya orang-orang elit borjuislah yang mampu bersaing, memperebutkan kekuasaan. Sedangkan kaum protelar dan kaum buruh hanya bisa meratapi nasib dengan perasaan yang serbasimpangsiur dan yang bisa mereka perbuat hanyalah terus berjuang untuk melawan kediktatoran, mereka sangat berhati-hati dalam bertindak, lengah sedikit hancur  dan hangus sudah usaha yang mereka telah perjuangkan (Baca Karl marx). Akan tetapi kaum-kaum buruh tidak perlu secemas itu karena kita, MAHASISWA akan memperjuangkan nasib kalian, kita bersamamu orang-orang malang.
Kadang masyarakat selalu berkata dan bertanya, mengapa ini semua terjadi…? Tidakkah engkau hentikan oh tuhan robbi.Hentikkan orang-orang yang tidak punya hati nurani itu. Aku takut, aku sangat takut, mereka sangatlah keji bahkan lebih keji bagaikan binatang yang memakan daging temannya sendiri. (ujar salah satu masyarakat).
Sebelum pertanyaan di atas terjawab semua. penulis mencoba merivew kembali apa yang terjadi di masa lalu yang katanya sejarah telah mencatatnya. Betul apa yang di rasakan oleh rakyat, tidak ada yang salah. Dari zaman ORLA, ORBA, sampai revormasi. Peristiwa penindasan semakin hari semakin merajalela, hanya saja cara implementasinya mengikuti perkembangan politik dan globalisasi namun secara substansial tetap ujung-ujungnya menyengsarakan rakyat. Penulis teringat akan peristiwa G 30 S/PKI. Dari penculikan dan pembunuhan yang di lakukan oleh PKI (partai komunis Indonesia) terhadap para jenderal TNI angkatan darat, TNI angkatan laut, maupun TNI angkatan udara. PKI menyusup kerumah-rumah jenderal itu pada waktu dini hari dengan dalil yang dibawa bahwa kondisi negara Indonesia dalam keadaan mencekik dan bapak presiden (Soekarno) menyuruh untuk menghadap ke istana. Namun, dari beberapa jenderal tersebut menolak dengan mengatakan datang lagi besok jam 8.00 WIB. Akan tetapi tentara PKI tidak menerima penolakan dari para jenderal dan bersih kukuh untuk membawanya dan bahkan mereka di tembak mati di hadapan keluarga karena kegigihan dari para jenderal untuk tidak mengikuti kemauan tersebut. Yang lebih ironinya lagi mereka tidak di perbolehkan untuk memakai seragamnya, Sungguh menyedihkan. Waktu menunjukkan angka 5.00 WIB dini hari. Para jenderal itu di siksa, di aniaya, di bunuh dan bahkan mereka telah memasukkannya di lubang kecil yang di namakan lubang buaya. Sungguh tidak punya hati nurani. Siapa yang akan bertanggung jawab atas peristiwa itu…? Entahlah, entah itu  semata-mata kesalahan PKI atau kesalahan dari Presiden.
Peristiwa di  atas adalah bagian terkecil dari seribu peristiwa yang telah membuat hati masyarakat terluka dan sampai sekarang masih membekas. 
Sekarang peristiwa itu telah terjadi lagi seperti peristiwa Mesuji, peristiwa di bima baik SAPE LAMBU maupun di NGALI (negeri para kasatria). Para bandit-bandit kekuasaan telah bermain politik-politik kotor Demi para pemilik modal yakni kaum kapitalisme, pemerintah rela mengorbankan martabat, harga diri dan menjual nyawa masyarakat demi secerceh materi baik berupa uang, kekuasaan dan saham-saham (materialistic). ketika di Tanya baik dari wartawan, media massa dan perjumpaan pers, mereka menjawab bahwa ini demi kesejahteraan masyarakat. Tidak ada satu pemerintahpun yang memiliki hati nurani, semuanya bejat, mereka menyembunyikan kejelekan, kemunafikannya dengan persona (Topeng) dan berlindung di belakang jabatannya. Benar apa yang di katakan oleh Soe hok gie (Alm) dan herman lantang “politik Ta’I anjing”
Ketika pemilihan CAPRES sedang mau di adakan, jauh-jauh hari  mereka mendekati masyarakat dengan membawa misi yang mulia (Jargon), mereka memberi, melindungi dan mengayomi masyarakat. Mereka berkampanye, menyampaikan visi dan misinya yang begitu bergaya dan santun di dengar. Namun itu hanya sebuah opini belaka, Sebuah embel-embel opini liar semata, dalam pada itu setelah mereka mendapatkan misinya (mendapatkan kekuasaan), seiring berjalannya roda kekuasaannya misi mulia tadi telah musnah bagaikan di sapu angin puting beliung dan  mansyarakat telah di lupakan (tidak mengindahkan apa yang menjadi aspirasi  masyarakat).
Sungguh ironi tragedy di negeri tercinta ini (politik kotor berhati predator). Dengan peristiwa yang terjadi di atas siapa yang menghambat kinerja bejat pemerintah…? Mereka selalu resah, bahkan terketuk hati nuraninya, mereka telah terpanggil oleh jiwa sosialnya. Mereka selalu menjadi garda terdepan, mereka tidak takut mati, kalaupun mereka mati, itu tidak menjadi persoalan, mereka telah terpanggil oleh seorang pemikir sehingga masyarakat tidak tertindas secara terus menerus.
Mahasiswa ya mahasiswa…!!! Kata ini tidak asing lagi di telinga masyarakat, kata ini sudah sangatlah familiar di telinga masyarakat dan bahkan dari beberapa mahasiswa itu adalah anak-anak dari mereka yang tertindas. Dengan title yang familiar itu tersimpan beban moral yang amat berat. (1). Tuntutan tri darma perguruan tinggi. (2). Sebagai Agent Of Change. (3). Agent of sosial. Inilah sebuah beban yang kemudian di empan di punggung mereka.
Namun itu tidak menyulutkan jiwa optimisme dan radikalisme ke-kritis-an. Sebagian mahasiswa menyatakan bahwa itu hanya sebuah formalitas, banyak sekali yang harus di perjuangkan (informal). Ujar mahasiswa 2009.
Mahasiswa yang di kenal dengan sifat kritismenya, yang tidak pernah puas atas apa yang telah di perbuatnya. Mereka mampu merubah keadaan. (Lihat), Dari peralihan masa jabatan dari soekarno (ORLA) ke soeharto (ORBA). Itu adalah salah satu bukti reel pergerakan mahasiswa. Tidak hanya dari universitas Indonesia (UI) Jakarta dengan gabungan dari beberapa ormas dan mahasiswa, kemudian itu  di namakan KAMI (kesatuan aksi mahasiswa Indonesia) yang turun berdemonstrasi di jalan, tentunya orang-orang HMI-pun  (himpunan mahasiswa islam) ikut terlibat dalam pergolatan itu. Dalam pada itu, banyak dari beberapa aliansi pergerakan masyarakat petani dan buruh telah turut serta dalam pergolakan demi menuntut hak-hak yang telah di renggut oleh para penguasa. Segala carut marut pergerakan itu kesenjangan sosialpun telah tercipta (ekonomi, sosial dan politik) namun segala perjuangan itu tadi terbayar dengan turunnya rezim SOEHARTO (Era reformasi).
Berangkat dari paradigma sejarah ini tentunya kontribusi yang telah di berikan oleh mahasiswa telah banyak menuai keberhasilan, di sini saya mengajak terhadap generasi-generasi sebagai penerus bangsa untuk terus menjalankan misi mulia demi tercipta sebuah tatanan sosial yang baik serta menjaga kehormatan para sang juara pencetus sejarah yang telah gugur duluan kala Reformasi. Dalam pada itu, untuk menjalankan misi itu tentu kita harus menjaga nilia-nilai kesolidaritas dan menghargai perbedaan antara kelompok tampa harus mengklaim kebenaran dan menafikan yang lain.
Ketika berpijak pada kata seorang tokoh yang paling revolusioner, NURCHOLISH MADJID (Cak Nur).
 “Api tampa kayu takkan bisa hidup dan api tampa ranting-ranting kecil takkan bisa hidup lama”
Artinya bahwa solidaritas itu perlu karena memang idealnya manusia adalah makhluk sosial. Nah, untuk itu Ayo kawan-kawan mari bersama-sama berjuang melawan kediktatoran dari bandit-bandit kekuasaan secara kompulsif.
Sumber penulis adalah Soe Hok Gie “Catatan Sang Demonstran”, Nurkholish madjid “api islam”.  
Penulis : Mahasiswa Psikologi Universitas Muhammadiyah malang...!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar