"INDUSTRIALISASI & KONSUMERISME DI
TENGAH KESENJANGAN SOSIAL."
Oleh
: Agus Salim : Pada 12 Mei 2012.
Mahasiswa Psikologi
Universitas Muhammadiyah Malang
BOLEH di bilang Perkembangan zaman
dewasa ini sangat pesat, segala lini kehidupan sudah menjadi sebuah keharusan
bagi manusia untuk selalu mengikuti itu, kalau melihat kondisi seperti ini
tentunya perilaku komsumtif sudah ikut terlibat di dalamnya.
Industri-industri sudah banyak di Indonesia dengan membawa ideologinya masing-masing,
ada yang kapitalisme, ada yang mengutamakan kesejahteraan kaum buruh dan
masyarakat dsb, untuk ideology pertama (Kapitalisme) tentunya di setiap
perusahaan pasti ada. Ideology kedua pada prakteknya belum tercapai secara
total, ironisnya malah membuat suasana sosial semakin tambah kacau (kesenjangan
sosial).
Biarpun kapitalisme sangat
berpengaruh dalam pembentukan formasi sosial, tetapi komsumsilah sesungguhnya
yang telah memberikan legitimasi dan makna hidup bagi seseorang ketimbang
domain produksi. Dewasa ini komsumsilah telah menjadi bagian yang sangat
penting dalam hubungan-hubungan ekonomi, sosial, budaya dan politik yang tidak
bisa lagi di lihat sebagai konsukuensi hubungan tertentu dengan produksi.
Sementara itu perbincangan tentang pertumbuhan ekonomi di negara-negara
berkembang akibat globalisasi kapitalisme yang mengharapkan tumbuhnya kelas
menengah yang kritis telah menyurutkan harapan itu. Soalnya yang terlihat
sehari-hari secara mencolok adalah munculnya ruang sosial baru, seperti mal-mal
yang menjadi etalase baru yang mengkomsumsi merek dagang dunia.
Sebagai lapisan sosial orang kaya
baru dalam penampilan sehari-hari, selain mereka merasa perlu memiliki kartu
kredit, telepon gengam, mobil mewah, rumah hunian yang di jaga ketat 24 jam oleh
satuan pengamanan (Satpam). Tetapi,, dalam pada itu, mereka perlu menceritakan
pengalaman hidup yang sangat bergengsi seperti paket haji serta
paket-paket berbuka puasa bersama yang di tawarkan di hotel berbintang lima
yang menguras biaya cukup mahal, inilah kemudian yang menjadi budaya (Cultural) orang-orang timur yang
notabene-nya orang beragama.
Di tengah perilaku komsumerisme di
atas, perusahaan-perusahaan asing telah memanfaatkan dan tentunya mengeluarkan
produk-produk yang menarik, katakanlah merek Handphone seperti Blackbery,
Samsung dll. Berangkat dari dalil kapitalistik itu dengan harapan memancing
masyarakat yang berlabelkan orang kaya baru terus meningkatnya perilaku
komsumtifnya, seperti peristiwa yang terjadi kemarin di senayan Jakarta, (Baca: Kompas.com) orang berlomba-lomba
mengantri panjang hanya untuk mendapatkan merek itu, sebagai konsekwensi logis
yang secara tidak langsung sudah menciptakan kesenjangan sosial. Di sisi lain,
perusahaan trans-nasional selain memperkerjakan laki-laki tetapi juga anak
perawan desapun di rekrut untuk menjadi karyawan. Di masyarakat perdesaan anak
perawan di anggap sebagai investasi jangka panjang untuk keluarganya, dalam
pada itu, perempuan di pandang lebih fleksibel dalam mencari pekerjaan,
dengan tujuannya apa.? tentunya mendapatkan kehidupan yang lebih layak.
Itulah gambaran dari kenyataan hidup
kita sekarang ini di era komsumsi, yang bukan sekedar merupakan kehidupan yang
mengakumulasi material, sebab barang dan jasa yang di komsumsi telah mempunyai
makna simbolis dan praktek-praktek idealistis. Dalam era komsumsi ini
periklanan telah memainkan peran penting dalam menjual gaya hidup yang
kapitalistis melalui pengembangan pasar dan pembentukan image, bagaimana hubungan-hubungan sosial berkaitan dengan jenis-jenis
komsumsi tertentu. Setelah jatuhnya “sosialisme”
media massa termasuk di negara berkembang, setiap hari mau tidak mau harus ikut
menawarkan gaya hidup seperti ini, tampa Kendal. Koran, majalah, dan acara
televise telah di dikte sebagai agen biro iklan daripada sebagai tempat
pembentukan opini atau paradigm-paradigma politik dan pesan moral. Sehingga,
peta hunian sosial misalnya, sekarang ini tidak di bagi kedalam geopolitik
negara, tetapi di gambar dalam imajinasi masyarakat berdasarkan peta sosial
gaya hidup baru, seperti letak real-estate, restoran-restoran “ala” tertentu,
dan mal-malterkenal telah menjadi pusat penjualan barang-barang suvenir
kapitalis dunia. Mal-mal ini bukan sekedar pembelajaan biasa, sebab namanya
terkait sebagai simpul dan sekaligus cermin bagi sejumlah besar orang yang
melakukan identifikasi jati diri sebagai anggota budaya konsumerisme
kontemperer. (Baca : Islam sabagai kritik
sosial).
Persoalan di sini adalah apakah
kalangan agama menyadari adanya pergulatan seperti itu, atau lebih lanjut
merumuskan bagaimana sesungguhnya yang di sebut manusia yang agamis itu, yang
dalam beberapa hal sangat kontradiktif dengan norma-norma komsumtif. Misalnya,
apakah orang sadar bahwa sesungguhnya mengkomsumsi pada dasarnya hanyalah sekedar
mencari “bekal ibadah” seperti yang telah di nasihatkan oleh agamis selama ini,
lebih dari itu, apakah agama masih bisa bersaing dengan iklan untuk mengatakan
bahwa hidup yang bermakna ialah hidup yang member makna buat orang lain,
sehingga, secara moral agama, orang merasa bersalah bahwa dengan mengkomsumsi
dengan rakus sementara di sekitaarnya orang hidup dengan keterbatasan yang luar
biasa.
Dalam langkah yang lebih real, saya
kira, kepada para kalangan agama, dakwah agama harus mampu mengatasi kompleksitas
dirinya, dan memberikan kontribusi yang lebih dengan melihat berbagai carut
marut budaya kapitalisme dan modernitas industrialisasi yang terjadi sekarang.
Apalagi, yang paling tragis, jika agama malah mengharmonisasikan agama dan
ideology iklan, hanya semata-mata agar orang kaya baru tetap menjaga
kesalehan-kesalehan ritusnya, sambil memboroskan uangnya untuk mengkomsumsi
kapitalistis belaka. Yang paling di takutkan adalah jika agama tidak
menampilkan wajah yang sesungguhnya maka fungsi agama yang menyuarakan
solidaritas kemanuisaan akan menjadi redup atau pesan moral agama akan menjadi
redup tatkala harus berhadapan dengan rakusnya manusia dalam era komsumsi dunia
saat ini.
Nabi telah bersabda
mengingatkan “Makanlah setekah merasa
lapar dan berhentilan sebelum perutmu kenyang”. Hanya saja kita sebagai
manusia mampukan pesan nabi itu kita tangkap dan lalu menjadikan sebagai
ideology sosial yang baru? Bagi orang miskin, sudah tentu menahan lapar sudah
menjadi perjuangan hidup sehari-hari, itu tidak jadi masalah. Sedang yang
berlabelkan orang kaya baru itu yang selama ini telah di untungkan dengan laju
pertumbuhan ekonomi, tetapi kalaulah di minta untuk hidup dengan memenuhi “kebutuhan hidup” saja, saya kira,
tindakan seperti itu merupakan Jihad Akbar, sebab Jihad Akbar bukan saja
melawan perang fisik tetapi juga melawan kerakusan diri sendiri. Wallahuallam…!!!
Menjelajahi Dunia Ide
Melampui Sejarah dalam Melawan Perbudakan Kesesatan Logika …!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar